Postingan

‘Pinangan dari Selatan’, Risalah Membaca Novel Sejarah

Gambar
  Membaca novel ‘Pinangan dari Selatan’ karya Indra J Piliang,  seolah-olah membaca potret sejarah yang terluka dalam tubuh bangsa Indonesia.   Satu potret yang menyiratkan bahwa berbagai peristiwa yang hadir dalam laku lampah kehidupan sehari-hari, banyak dirimbuni oleh aura amarah, dendam, dengki dan napsu kekuasaan untuk saling menjegal satu sama lain demi mencapai tujuan. Semua laku lampah dalam kehidupan manusia untuk memenuhi hasrat libido dirinya, tertuang secara rapi dalam novel ‘Pinangan dari Selatan’ (PdS). Satu novel yang menyuguhkan berbagai jejak peristiwa sejarah tanpa larut dalam pendokumentasian sejarah secara verbal. Data-data dan setting cerita dalam PdS, oleh Indra J Piliang (IJP) dikemas dengan ketrampilan cerita yang memikat tanpa larut dalam alur pendataan angka-angka. Novel PdS, mengingatkan saya pada hilangnya hasrat para novelis Indonesia untuk melakukan pendokumentasian sejarah yang ada. Sejarah kehidupan bangsa Indonesia yang begitu kaya akan ber

RUMAH TANPA PENGHUNI

Gambar
Jalan setapak menuju rumahku, jalan menuju kehidupan tanpa penghuni. Sepi, sunyi, senyap, mengalir deras di selokan rumahku. Masuk ke berbagai sudut rumah. Comberan yang diam. Kolam ikan yang mati, jadi pendulum rumah tanpa penghuni. Tak ada dunia di rumahku. Tak ada kehidupan di kamar tidur, kamar mandi, ruang tamu dan dapur, semua mati. Lukisan di dinding jadi saksi kebisuan penghuni rumah. Tak ada suara, tak ada kata bertebaran. Semua mati. Kami seperti mayat-mayat hidup. Berjalan tanpa roh. Bergerak tanpa jiwa.   Tak ada dunia di rumahku. Udara lembab masuk ke berbagai ruang. Tak ada cahaya di sudut-sudut kamar. Para penghuni berjalan tanpa kepala, tanpa hati. Duduk dan berdiri tak mampu melukis warna bumi, warna langit. Warna bumi, warna langit menjelma jadi warna kegelapan. Tak ada matahari pagi, tak ada senja sore hari di balik pintu rumahku.   Tak ada dunia di rumahku. Meja makan terkubur ratusan tahun lalu. Kursi-kursi tamu jadi bangkai. Para tetangga tak ma

SAJADAH TERAKHIR

di beranda, segelas rum Puerto Rico dengan tangki-tangki enamel putih dan pipa kronium mengantarku pada Claude Levi-Strauss. angin memecah malam tak ada lagi segelas rum Martinique yang disuling dengan instrumen-instrumen lapuk sejak abad 18, aku merindukanMu di sini di antara kamar tidur dan rahim ibuku yang telah dihuni batu-batu. malam hari, bersama Gramsci engkau mengajakku menari di atas ribuan gelombang dan ombak kecil yang menyapaku di setiap pagi aku pungut gelombang, ombak dan pasir putih yang tergeletak di tepi laut dan di beranda rumah kecilku, langit menghujani bumi ketika tiap nafas bergulir di sela rawa-rawa aku panggil sajadahku yang tak lagi berjalan diatas rakaat subuhku. kulayarkan sajadahku menepi di pinggir jendela kamar membaringkan langkahku yang terbujur di selokan rumah di simpang jalan, ketika sarung sembahyangku tak lagi bicara, sepasang merpati terbang di atas taman mematuk putik, mengaba

Kritik Sastra: Isu Lama, Kemasan Baru

Gambar
Oleh Edy A Effendi PADA Agustus 1938 di majalah Poejangga Baroe, JE Tatengkeng, penyair terkemuka di awal kesusastraan Indonesia modern, memberitahu kita bahwa yang paling fundamental dalam tradisi kritik sastra adalah pertemuan dan pergumulan antara kritikus dengan apa yang diselidikinya. Hasil dari pergumulan itu adalah kritik sastra yang bersifat subyektif. Sang kritikus tidak berdiri di luar pagar perkara yang ia kupas dan sentuhan-sentuhannya harus terasa “bentuk tangannya, ketokan jantungnya, dan panas darahnya”. Pikiran Tatengkeng di atas, setidak-tidaknya sekadar “pengantar” untuk melihat kembali “silang sengketa” perihal kritik sastra yang dipicu tulisan Binhad Nurrohmat kemudian direspon Budi Darma dan Satmoko Budi Santoso di harian ini. Tiga tulisan yang dikembangkan para pekerja sastra itu, dalam titik-titik tertentu bukanlah persoalan baru, tapi lebih pada penyiasatan isu lama dengan kemasan baru.Masing-masing, seolah-olah memiliki klaim kebenaran sendiri.

Baginda Nabi Tak Meninggalkan Warisan Harta

Gambar
Sebagian besar orang melihat kekayaan hanya dari sisi lahir, materi. Orang yang punya mobil langsung dicap lebih kaya ketimbang orang yang punya motor. Orang yang punya rumah dianggap lebih kaya ketimbang orang yang masih tinggal di kontrakan. Inilah ukuran kekayaan secara materi. Inilah ukuran kekayaan secara materi. Saya teringat wejangan Imam Ghazali dalam risalahnya "Al-Adabu fid Din", khususnya pasal "Adabul Ghani". Kata Imam Al-Ghazali orang kaya itu harus selalu bersikap tawadu' (luzumut tawadlu') dan menghapus sikap sombong (nafyut takabbur). Di tepi lain Imam Ghazali mengurai bahwa aktivitas ekonomi manusia itu harus disandarkan pada aktivitas menuju hari akhir dan hari pembalasan. Artinya setiap gerak dalam mencari kekayaan itu harus berpijak pada pertanggung jawaban pada hari akhir, hari pembalasan. Lebih jauh Imam Ghazali melihat sebuah kekayaan adalah pencapaian menuju kesuksesan hidup yang abadi. Kekayaan dalam filosofi hidup haru

Fanatisme dan Keseragaman dalam Puisi

Gambar
Oleh Edy A Effendi NIRWAN Dewanto, seorang esais, dalam diskusi terbatas, di Warung Tenda Biru, Jalan Braga, Bandung, melihat ada gejala dalam proses penciptaan puisi dalam dasawarsa terakhir, yang ditandai semangat fanatisme dan keseragaman di sebagian penyair Indonesia. Tampaknya, lemparan pikiran Nirwan perihal sikap fanatisme itu, lahir dari semangat untuk memperkukuh proses penciptaan yang bersandar dari wilayah geografis semata, dan “penuhanan” terhadap “sosok guru” --figur yang dituakan-- hingga napas kesadaran yang diemban, cenderung dibingkai oleh konvensi-konvensi lama dalam hal penulisan puisi, terutama dalam pemilihan kata dan gaya yang ditularkan dalam teks puisi. Semangat semacam inilah, yang kemudian, memberikan stigma keseragaman dalam puisi-puisi yang diciptakan sebagian penyair. Dan pada akhirnya, puisi yang tercipta, hanya bersandar pada kemampuan memainkan irama kata, dan teknik penulisan yang “dicanggihkan”. Gejala fanatisme dan keseragaman, salah satuny

Puisi Indonesia: Sembunyi dalam Gelap

Gambar
. Puisi yang penuh dengan metafor gelap, kalimat panjang yang hampir-hampir tak terpahami dan tema-tema subjektif yang asal terlontar saja dari penyairnya, telah menyebabkan puisi Indonesia pada suatu masa tersisih, menjadi semacam benda-benda asing yang tak mempunyai peranan sama sekali dalam kehidupan bersama. Puisi Indonesia modern itu adalah contoh tragis dari kesenian kita yang belum lagi matang, sebab dengan segala kerumitannya ia telah menolak dirinya sebagai puisi. Puisi telah hampir ditolak, tetapi puisi modern itu justru telah mengarahkan kematiannya sendiri. Pernyataan Sutisna Adji ini, yang dimuat dalam buku  Tentang Kritik Sastra Sebuah Diskusi  (Editor Lukman Ali, 1978), terutama diarahkan kepada puisi-puisi Ajip Rosidi yang termaktub dalam kumpulan  Pesta  bersama Wiratmo Sukito dan Iwan Simatupang, yang beredar sekitar tahun 1955-an Seperti kita tahu, pada kurun tahun 1950-an, konstelasi politik di ranah Indonesia tercabik-cabik oleh berbagai kepent